Jumat, 29 Juni 2012
Dalam serangkaian perlombaan JPMIPA Cup ada perlombaan
mading atau majalah dinding. Perlombaan diikuti oleh warga JPMIPA yang setiap
kelasnya mengirimkan perwakilannya.
Setiap kelas menghasilkan karya yang berbeda dan sangat
kreatif, dengan tema dan kekhasannya masing-masing.
Berikut adalah karya yang di hasilkan oleh teman-teman dari
Pendidikan Matematika angkatan 2009 kelas B.
Kamis, 28 Juni 2012
Berikut adalah beberapa foto yang saya ambil ketika mengikuti proses observasi yang dilakukan oleh teman-teman aktor Pasar Pahing.
Berikut adalah hasil jepretan saya ketika sedang jalan-jalan
di alun-alun utara.
Ini adalah beberapa peserta pawai Jogja Java Carnival yang
sudah berhenti di alun-alun utara.
Teater Seriboe Djendela mementaskan Tobong Kosong
dalam rangka ikut berpartisipasi dalam Festifal Teater Yogyakarta. Proses ini berlangsung sangat singkat, setelah proses
pentas teman-teman TSD angkatan 2010 (I’m Potent) langsung beralih ke proses
ini.
Berikut adalah beberapa adegan yang bisa saya abadikan,
Salah satu hal yang menjadi hobi saya adalah menjepret atau
mengabadikan momen. Meskipun hasilnya tidak terlalu bagus dan dengan alat yang
seadanya, berikut adalah tingkah hewan yang bisa saya abadikan:
Setelah mempertunjukan Pasar Pahing para aktor libur sejenak di pergantian semester, akan tetapi beberapa minggu kemudian TSD (Teater Seriboe Djendela) kembali berproses untuk mempersiapkan pementasan Lapak Tilas yang merupakan pentas kolaborasi antara UKM Teater Seriboe Djendela dan UKM Karawitan Kampus Sanata Dharma.
Berikut adalah beberapa hasil foto yang saya ambil selama proses.
Berikut adalah foto pementasan Pasar Pahing yang dilakukan oleh
teman-teman dari Teater Seriboe Djendela di aula kampus Sanata Dharma Mrican
(Bukan hasil jepretan saya).
Setelah melalui proses latihan,
observasi dan sebagainya akhirnya pada
bulan Mei tahun 2010 pertunjukan ini dipertunjukan. Akan tetapi pementasan ini
juga merupakan proses awal untuk menuju pentas di bulan Oktober pada tahun yang
sama.
Senin, 28 Mei 2012
Beberapa mahasiswa dan mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma mengikuti lomba pensi Dekan Cup di Student Hall Kampus Mrican. Mereka mencoba membawakan sebuah drama yang menceritakan romantika cinta remaja saat ini.
Diceritakan, seorang gadis yang sedang bergembira bersama sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba, seorang laki-laki melewati tempat gadis itu berada dan laki-laki itu telah membuat si gadis itu telah merasa jatuh cinta. Namun sayang laki-laki itu hanya sebatas lewat saja dihadapan gadis itu bagaikan angin lalu. Gadis yang tengah putus asa karena tidak dapat mengenal sosok laki-laki yang membuat dunianya seolah berhenti itu tiba-tiba menemukan
Selasa, 15 Mei 2012
Yanusa Nugroho
Namanya Arjuna. Laki-laki, kurus, bujangan, 45 tahun-an. Ada yang memanggilnya ”Mas Ar”, ada juga yang memanggilnya dengan ”Kang Juna”. Siapa yang benar? Kurasa dua-duanya benar, karena Arjuna hanya tersenyum.
Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam.
”Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu.
”Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa.
Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola.
Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi, nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna.
Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus kebunnya.
***
Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung.
”Kenapa?” tanyaku, suatu kali.
Namanya Arjuna. Laki-laki, kurus, bujangan, 45 tahun-an. Ada yang memanggilnya ”Mas Ar”, ada juga yang memanggilnya dengan ”Kang Juna”. Siapa yang benar? Kurasa dua-duanya benar, karena Arjuna hanya tersenyum.
Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam.
”Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu.
”Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa.
Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola.
Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi, nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna.
Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus kebunnya.
***
Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung.
”Kenapa?” tanyaku, suatu kali.
Langganan:
Postingan (Atom)